Batam, tintahukum.com – Dalam dunia jurnalistik terdapat doktrin, “Fakta itu suci atau Facts are sacred”. Karena itu, kesucian fakta harus dijaga agar pembaca, pendengar, dan pemirsa mengetahui fakta sebenarnya. Bagaimana caranya?
Wartawan tidak boleh mencampuradukkan fakta dan opini. Dalam berita yang ditulis harus jelas mana fakta, mana opini. Dalam konteks inilah fakta disebut suci.
Hal ini sesuai UU Pers No 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik menegaskan pentingnya penyajian fakta yang terpisah dari opini yang bebas.
Namun, yang dimaksudkan dengan “fakta adalah suci” dalam jurnalistik bukan berarti setiap fakta adalah baik.
Poinnya: Sajikan fakta apa adanya, jangan dipelintir atau mencampuradukkan dengan opini wartawan atau pengelola media, serta opini narasumber atas suatu peristiwa. Berbeda pendapat itu tidak mengapa. Asal pada akhirnya berani menerima realitas.
Masalahnya di era post truth semacam ini, orang sudah tidak peduli lagi dengan fakta objektif. Emosi dan keyakinan menjadi lebih penting dalam membentuk opini.
Bagaimana ketika keyakinan terancam oleh fakta? Bukan keyakinannya yang berubah, malah fakta itu yang mereka pertanyakan. Ini adalah tantangan berat gerakan literasi di Indonesia. Maka itu perbanyaklah membaca.
Bagaimana menurut Anda? (Nursalim Turatea)
_____
REALITAS: Bunda Literasi Kota Batam Hj Marlin Agustina, bersama Wali Kota Batam H Muhammad Rudi (HMR), dan Sekretaris Daerah Kota Batam H Jefridin, pada nomen Hari Pendidikan Nasional, beberapa waktu lalu. Para pemimpin ini tegak lurus dalam membangun literasi di Kota Batam.