Mediakompasnews – Jakarta – Putusan Hakim Tunggal PN Jakarta Selatan yang memvonis AG (15) dengan hukuman 3 tahun 6 bulan pidana penjara adalah sudah tepat. “karena oleh hakim tunggal yang ditunjuk Makamah Agung sebagai hakim anak dalam putusannya AG dinyatakan bersalah telah turut serta membiarlan terjadinya kekerasan dan penganiayaan berat yang
dilakukan tersangkah utama Mario Dandy”, demikian
disampaikan Arist Merdeka Sirait Ketua Umum Komisi Nasional Perlindungan Anak dalam jumpa pers di PN Jakarta Selatan usai menghadiri pembacaan vonis hakim Senin 10/04.
Lebih lanjut Arist dalam keterangan persnya sesuai dengan ketentuan UU RI Nomor : 11 Tahun 2014 tentang Sistim Peradilan Pidana Anak (SPPA) demi keadilan bagi korban dari anak berkonflik dengan hukum sudah layak AG mendapat hukunan 3 tahun enam bulan. Dengan hukuman ini hakim.memberi kesempatan untuk jerubah dan sebagai contoh dan pelajarab untuk anak-anak remaja di Indonesia.
Dalam putusan yang dibacakan hakim tunggal Sri Rejeki Batubara, SH menyatakan yang meringankan terdakwa, AG masih berusia anak dan masih punya masa depan yang lebih baik lagi. Namun yang patit menjadi pelajaran bagi anak-anak remaja, memberatkan pelaku, korban David masih dalam perawatan intensif dan serius dan dimungkinkan juga cacat seumur hidup. Dan oleh hakim yang memberatkan lainnya, pada saat kejadian kekerasan berat yang dilakukan Mario Dandy, AG tidak menelerai, dan menghentikan aksi kekekerasan tersebut tapi justru membiarkan kekerasan dan tak menolong.
Atas peristiwa inilah, momentum bagi pemerintah melalui Kemenhukam dan DPR RI khususnya Komisi 3 untuk merevisi UU RI Nomor : 11 Tahun 2012 tentang SPPA untuk meredefinisi ulang tentang mana yang masuk definisi KENAKALAN dan KEJAHATAN Anak yang masuk dalam kategori Anak berkonflik hukum sebagai pelaku Kejahatan Ringan dan pelaku kejahatan berat..
Karena data dan fakta menunjukkan bahwa perilaku tindak pidana anak yang terjadi ditengah-tengah mcasyarakat sudah masuk dalam tindak pidana berat dan serius. Di banyak kejadian tindak pidana anak sudah mengarah pada tindak pidana berat.
Semisal membacok dan memenggal kepala korban dan memutilasi korban membakar hidup-hidup korban baik yang dilakukan oleh anak-anak bahkan pelaku melakukan pemerkosaan seperti yang dilakukan orang dewasa.
Lebih lanjut Arist dalam keterangan pers, Perkara AG ini bisa menjadi jalan untuk metevisi UU RI Nomor : 11 Tahun 2012 tentang Sistim Peradilan Tindak Pidana Anak (SPPA) khususnya definisi dimana pembatasan usia anak yang dapat melakukan tindak pidana, wajib melakukan klasifikasi apa yang dimaksud dengan KENAKALAN dan KEJAHATAN Anak, mana yang dimaksud dengan tindak pidana ringan (Tipiring) dan berat, kalasifikasi batas usia tindak pidana anak, sehingga keadilan hukum mana klasifikasi tindak pidana anak yang dapat diselesaikan dengan pendekatan diversi dimana kasusnua diselesaikan diluar pengadilan dengan petsetujuan kedua belah pihak baik sebagai pelaku dan korban. Dan tindak pidana yang bagaimana yang bisa dijakukan dengan pendekatan restorasi justice (RJ) .
Masih menurut Aris Merdeka, kasus-kasus anak berkonflik dengan hukum yang dilaporkan kepada Komnas Perlindungan Anak mendorong pemerintah melalui Kemenhukam dan DPR RI Komisi III segera merevisi UU RI Nomor : 11 Tahun 2012 tentang SPPA.
Karena ada banyak fakta anak usia dibawah 12 tahun telah melakukan tindak pidana seperti yang dilakukan olej orang dewasa, desak Arist.
Seperti kekerasan fisik yang dilakukan 3 orang anak usia 14 melakukan kekerasan fisik di Sukabumi dengan cara membacok dengan senjata tajam dengan cara menyiarkan kejadian pembacokan itu dengan menyiarkan secara langsung melalui media sosial. Kasus mutilasi untuk dijual organ tubuhnya yang dilakukan anak di Sulawesi Selatan melalui media online, Inikah yang dimaksud kenakalan anak atau justru kejahatan berat, apakah kasus kategori ini merupakan kenakalan anak atau kejahahatan anak, pertanyaannya apakah dapat diselesaikan dengan pendekatan Restotasi atau Diversi”, demikian jelas Arist.
Penulis : Abubakar